Wednesday, May 24, 2023

Toko Buku di Bandung

 Akhir-akhir ini sedang viral terkait tutupnya gerai terakhir Toko Buku Gunung Agung. Jika melihat komentar-komentar pada berita tersebut, banyak yang menyayangkan terkait kurangnya minat baca warga Indonesia.

Apakah seperti itu? Saya sendiri sangsi untuk mengkaitkan tutupnya Toko Gunung Agung dengan minat baca, lagi-lagi menurut saya lebih ke tren cara jualan jaman sekarang. Lah, akibat novel dan komik si bungsu saja mewajibkan saya harus menambah lemari dan rak di kamarnya. Cuman ya ibunya terkadang lebih senang membelikan bacaan si bungsu via jualan daring.

Ya, jaman sudah beda, kebiasaan orang sudah bergeser dari menikmati secara langsung sekarang secara digital, dari membeli langsung sekarang tinggal pencet-pencet ponsel saja. Toko buku nasibnya sekarang sama persis toko kaset yang lebih dulu berlalu. Jaman saya seumuran si sulung/si bungsu, kalau butuh buku/novel/komik ya harus usaha dulu. Menyediakan waktu saat weekend, naik angkot ke toko bukunya dsb.

Ada keasyikan tersendiri memang ketika jaman dulu, selain sambil jalan-jalan, di toko buku juga tentunya tidak hanya melihat-lihat bacaan yang kita cari. Kita bisa sambil lihat-lihat tas atau alat tulis, yang paling penting adalah bisa sambil baca buku/komik lain yang plastiknya terbuka .... hehehehe (disclaimer, saya ga pernah lho ya buka plastiknya)

Sambil mengingat-ingat kembali jaman dulu, ada beberapa toko buku atau lokasi (selain Gunung Agung di BIP, Gramedia di Merdeka) yang sering datangi saat masa-masa sekolah bila ingin mencari buku/komik di Bandung, periode 80-90an. Yuk ditambah kalau ada yang terlewat.


Q*ta

Yes, Qta... dibacanya kita bukan ya? Tapi saya ingat sekali plangnya ditulis pakai simbol bintang. Lokasinya ada di Jalan Sumatera, letaknya antara rel dan perempatan Lembong - rel kereta api, sekarang jadi factory outlet atau cafe gitu. Seingat saya, Qta ini displaynya setengah jualan buku, setengah jualan aksesoris. Jaman2 belum ada toko aksesoris macam Strawberry., Qta ini tempat anak2 remaja mencari aksesoris.

Elvira

Letaknya ada di Jalan Dago. Lebih banyak menjual buku-buku serius sebetulnya kalau di sini ketimbang komik, jadi termasuk yang jarang saya datangi juga. Seingat saya, toko buku ini masih bertahan. Letaknya ada di antara x-Aquarius dan perempatan Merdeka.

Pasar Palasari & Pasar Suci

Salah dua pasar tradisional yang ada kios-kios penjual bukunya. Alternatif mencari buku pelajaran (kalau stok di guru habis atau kemahalan atau hilang) dan novel/komik tentunya. Enaknya disini? Sudah tentu bisa ditawar dan dikasih bonus dikasih sampul plastik. Maklum suka jorok. Pasar Palasari sampai sekarang masih bertahan, sempat beberapa tahun lalu juga membeli beberapa jilid komik Johan dan Pirlouit. Kalau Pasar Suci, seingat saya sudah tidak ada lagi kios-kios penjual buku setelah kebakaran yang melanda pasar tersebut.

Toko Buku Alumni

Letaknya di sebrang Aquarius Dago kalau saya tidak salah ingat, sama halnya seperti TB Elvira, TB Alumni ini juga toko buku "yang serius".

Bursa Koran Cikapundung

Naaaahh kalau ini, saya yakin banyak orang2 Bandung yang gak ngeuh juga. Letaknya ada di Banceuy pas pinggiran Sungai Cikapundung. Sesuai namanya, bursa ini hanya ada pagi-pagi saja karena semacam lokasi dropping koran atau buku dari percetakan untuk diedarkan oleh loper-loper. Mostly memang banyak koran, tapi ada juga yang jual buku dan komik. Datan ke lokasi ini setiap weekend, merupakan rekreasi buat saya. Almarhum ayah selalu mengajak bepergian menggunakan bus Damri dari rumah untuk kemudian turun di Alun-alun Bandung. Setelah lelah mencari buku/komik, yang menjadi hiburan bagi saya adalah diajak sarapan nasi gulai yang buat saya masih terasa rasa enaknya hingga sekarang. Apakah bursa ini masih ada? Sudah jarang soalnya pagi-pagi lewat daerah situ.


Berbicara buku fisik (untuk konsumsi sendiri), saya sendiri terakhir kali membeli pun secara daring. Buku pewayangan karya Pitoyo Amrih serta buku-buku sejarah Bandung karya Haryoto Kunto yang dilelang di IG. Alhamdulillan baru-baru ini ditawarkan untuk pre-order sebuah memoar karir seorang bankir yang blognya pernah jadi panduan saat masuk unit kerja bisnis dulu.

Yuk membaca lagi .....


Share:

Wednesday, May 05, 2021

Toko Jadul di Bandung

Dulu saya pernah menulis tentang kejayaan masa lampau dari pusat-pusat perbelanjaan di Bandung yang kini sudah tutup atau hidupnya segan, mati pun tak mau


Nah beberapa waktu yang lalu, saya sempat berkunjung ke Bandung dan kebetulan lewat Jalan Mangga (mengantarkan ibu saya membeli cuanki, yg menurut beliau rekomen banged). Pas memarkirkan kendaraan, saya melihat pintu bertuliskan "Toko Cairo" di dekat warung cuanki tersebut

Bukan, ini bukan Atase atau Konjen Mesir. Cairo ini merupakan salah satu toko kelontong yang berdiri sejak "jaman baheula". Tempat jajan ibu saya waktu sekolah dulu, karena basecamp geng ibu saya ada di Jalan Mangga (kakek saya dulu rumahnya di Jalan Salam lalu pindah ke Jalan Anyer). Ibu saya saja waktu sekolah, jajannya kesitu, terbayang kan seberapa tuanya toko ini? 

Hanya saja sekarang saya tidak tahu, apakah toko ini masih buka atau sudah tutup? Karena ketika sedang ke Jalan Mangga tersebut, saya lihat pintunya ditutup padahal kondisi sudah siang hari.

Berbicara tentang toko-toko jaman baheula, akhirnya terlintas di pikiran saya toko-toko yang dulu sering didatangi orang tua saya untuk berbelanja ketika minimarket ataupun supermarket belum semenjamur saat ini di Bandung, salah satunya ya Toko Cairo ini.


Deretan toko "baheula" yang masih eksis dan dulu suka didatangi salah satunya ada di Jalan Cilaki, saya gak tau sekarang menyisakan apa saja sekarang, kalau ga salah ada coffee shopnya juga di situ. 

Selanjutnya saya juga teringat kalau orang tua saya membeli daging segar, biasanya ke toko yang ada di Jalan Aceh, hanya saja sekarang tokonya tutup kalau saya lihat

Kalau daging ke toko di Jalan Aceh, kalau sosis? Pastinya ke Badranaya yang "dulu" berlokasi juga di Jalan Aceh (sekarang Badranaya sudah pindah ke Jalan Merdeka)

Nah toko yang menjual lengkap mulai dari baju hingga keperluan sehari-hari, biasanya salah satunya ada di deretan Jalan Sabang, saya lupa nama tokonya. Paling suka kalau dulu orang tua berbelanja ke Jalan Sabang karena di depan toko2nya banyak penjual jajanan.


Daerah Cibeunying semua ya? Oh tidak, kebetulan dulu rumah nenek saya (dari ayah) ada di Jalan Pajaran. Dulu ada satu toko kelontong yang sering dikunjungi ayah saya (kalau gak salah Bubur H. Amid bukanya di depan toko ini sebelum pindah 


Di daerah Cicadas juga banyak rasanya toko yang waktu jaman SD/SMP suka dijadikan tempat belanja oleh orang tua saya, hanya saja saya lupa karena tampilan sekarang Cicadas betul-betul tertutup oleh lapak pedagang kaki lima.


Jaman baheula, belanja harus menyambangi satu persatu tokonya, syukur alhamdulillah kalau kecipratan rejeki boleh jajan saat menunggu orang tua berbelanja atau dapat sisa-sisa uang kembalian.
Jaman sekarang? Cukup lewat ecommerce, namun begitu anak-anak lihat orang tuanya buka apps commerce, biasanya nyamber "ada ini engga?"  ... Jadi ya sama aja sih hehehe

Share:

Sunday, February 09, 2020

JAK3 GALAXY


JAK3 GALAXY, sebuah tema yang lagi happening di regional office saya saat ini.

Sebelumnya, saya sudah bercerita kalau sekarang mempunyai amanah baru di regional office Jakarta 3 yang berlokasi di BSD City, Tangerang Selatan.
Bertugas kembali lagi ke Tanah Jawa setelah... sebentar
2 tahun di Medan
3 tahun di Lubuk Sikaping
1,5 tahun di Makassar
Ok, setelah 6,5 tahun berdinas di luar Pulau Jawa. Bertemu dengan tim baru dan rekan kerja baru untuk pengalaman yang baru pula..

Share:

Wednesday, November 20, 2019

goolging nama+instansi

pernah iseng nyoba googling nama sendiri?
paling keluar akun sosmed kita, lalu apa jadinya kalau googling nama sendiri plus instansi tempat kita bekerja?


... lumayan lah ya, selama bekerja di unit kerja bisnis bisa ninggalin jejak di mesin pencari serta portal-portal berita



Share:

Thursday, December 13, 2018

Transformasi BRI, Kamardy Arief

ini ketiga kalinya tiba2 di meja kerja ada sebuah buku yang bagus tentang kepemimpinan

Kamadrdy Arief: TRANSFORMASI BRI "Sebuah Memoar"

Sebuah buku biografi dari salah satu CEO BRI (1983-1992) Bapak Kamardy Arief saat memimpin BRI. Buku tentang biografi CEO tempat saya bekerja entah kenapa selalu menarik untuk saya baca, setelah sebelumnya sempat membaca dua buku lain yg juga tiba-tiba muncul di meja kerja saya antara lain THE CLIMBER (Bapak Djokosantoso Moeljono) serta BE AN OPTIMIST! (Bapak Rudjito (alm)).

Cerita beliau-beliau menarik untuk dibaca, karena bisa menjadi panutan serta teladan bagaimana memimpin sebuah organisasi yang sangat besar serta legacy apa yang ditinggalkan oleh beliau-beliau saat menjabat sehingga tetap dikenang hingga kini oleh setiap pekerja di perusahaan, meskipun pekerja tersebut belum pernah dipimpin oleh beliau-beliau ini.

Bapak Djokosantoso dengan budaya kerjanya, Bapak Rudjito dengan go public-nya serta sekarang kisah menarik Bapak Kamardy Arief dengan mikronya. Mikro? Ya mikro ....

Sedikit bercerita, saat jadi pinca dulu, saya membawahi seorang AMBM, Asisten Manajer Bisnis Mikro, seorang manajer yg menangani bisnis mikro. Kebetulan dua orang AMBM yang pernah bekerja dengan saya pernah mengalami masa kepemimpinan Bapak Kamardy Arief, saat2 waktu itu saya masih rajin nonton Saint Seiya dan ke sekolah pakai celana pendek warna merah.
Pak Idris, orang Kamang Kab Agam, serta Pak Ismael, orang Bukittinggi. Saat kepemimpinan Bapak Kamardy Arief, Pak Idris dan Pak Ismael masih bekerja sebagai Mantri (jabatan marketing di bisnis mikro BRI) dan bercerita bagaimana Bapak Kamardy Arief merubah wajah BRI dari semula penyalur program pemerintah menjadi bank komersil mikro dengan senjata andalannya Kupedes dan Simpedes, sehingga membuat bangga para pekerja jajaran mikro.

Dan akhirnya melalui buku ini, sekarang saya betul-betul bisa membayangkan seperti apa dulu seorang CEO bisa merubah wajah suatu perusahaan. Selain lahirnya dua andalan mikro tadi, Bapak Kamardy Arief juga memberika terobosan yang menjadi peninggalan yang masih dilaksanakan hingga kini, SIPK. Sebuah penghormatan tertinggi bagi jajaran mikro BRI yang diberikan periodik tahunan ... dan saya belum pernah mengenyamnya selama tiga tahun #syedih.
Saya juga baru tahu, center of excellence BRI sekarang, yaitu Corporate University dan Campus-nya timbul dari gagasan beliau untuk mendidik jagoan-jagoan mikro di setiap daerah.
Lewat buku ini juga, saya bisa tahu kisah-kisah menarik saat Bapak Kamardy Arief memindahkan kantor pusat BRI dari Jl Veteran, Jakarta ke lokasi yang ada sekarang serta salah satu yang paling monumental tentunya perubahan logo yang masih digunakan hingga sekarang.




Share:

Wednesday, May 23, 2018

kembali ke alamnya

sudah 4 bulan saya meninggalkan Lubuk Sikaping.

Ya, per 1 Januari 2018, kemarin saya meninggalkan pekerjaan saya sebaga Pimpinan Cabang di daerah Indonesia bagian barat pindah ke bagian tengah nyaris timur, di Makassar.
Dari sebelumnya daerah pegunungan kini daerah pantai.

Suatu pengalaman baru walau rasa lama karena background saya yang masuk instansi ini sebagai spesialis IT lalu sempat limat tahun pindah ke lini bisnis, sekarang kembali ke ranah IT.
Saya mempunyai amanah baru sebagai Kepala Bagian Echannel dan TSI di Kanwil Makassar yang membawahi daerah bisnis di Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara.

Banyak hal hal  yang kembali dipelajari lagi karena sejak pindah jadi Pincapem lima tahun yang lalu, saya sangat sjarang angat bersing langsung dgn dunia IT. Yaaa walau masih sedikit2 nyentuh (berhubung punya istri yang membidangi IT juga di kantornya).

Memang ada sedikit jetlag ketika 3 tahun sebelumnya berutinitas di kota kecil dengan kesunyiannya, sekarang kembali ke metropolitan dgn segala asap kendaraan dan rudetnya lalu lintas. Memang rindu dengan udara segar dan sejuknya hawa pegunungan, tapi setidaknya bisa kembali rutin lihat mall ^^

Namun ternyata ada sedikit keunikan ketika sedan membuka album foto di FB. Ada foto tahun 2005 ketika saya di Painan Kanwil Padang, ketika pertama kali masuk BRI, saya perjalanan dinas ke Padang dan 10 tahun kemudian saya pindah ke cabang di Kanwil Padang.
Dilalah, ada foto tahun 2008 ketika saya perjalanan dinas ke Makassar, siapa yang bisa nebak tahun 2018 saya mutasi ke Makassar.



Perjalanan baru untuk dijalani, bismillah
Share:

Wednesday, August 30, 2017

Bakhutmah


"Haram! Haram! Tiga riyal!"
Seru si wan abud pemilik mobil bak terbuka...

Foto tersebut diambil dari depan pemondokan haji saya di Mekah, sebuah kawasan yang bernama Bakhutmah, ketika hendak menjelang waktu sholat.

Naik mobil bak terbuka?
Iya, Bakhutmah merupakan salah satu kawasan pemondokan haji yang kurang lebih berjarak 3km dari Masjidil Haram sehingga terkadang butuh moda transportasi utk mencapai Masjidil Haram.
Terkadang? Ya, karena terkadang juga saya atau jamaah haji bisa berjalan tanpa terasa menempuh 3km utk solat berjamaah di Masjidil Haram, bahkan termasuk Ibunda saya yg berusia 63 tahun saat itu. Tapi tentunya dengan mengambil ancang2 waktu terlebih dahulu, kalau mefet ya tentunya menggunakan moda transportasi.

Sebetulnya pemerintah Indonesia sendiri sudah menyediakan moda transportasi PP dari kawasan Bakhutmah ke Masjidil Haram berupa bus. Saya ingat betul busnya berwarna biru dan mewah sekali, berhenti di terminal dan masuk ke Masjidil Haram via terowongan, yg anehnya tiap saya lewat rasanya berbeda2 terowongannya (saking banyaknya terowongan hahaha). Hanya saja, karena terbatasnya bus yg disediakan pemerintah, jamaah haji mengambil alternatif lain dgn naik mobil pribadi warga Mekah. Tidak gratis tentunya, tapi yang jelas jangan harap naik mobil yang bagus karena ketika saya naik mobil tertutup pun rasanya ga pernah nemu mobil yg terawat.

Bahkan Ibunda saya sendiri tidak segan2 utk naik mobil bak tersebut. Kalau sudah diniatkan apapun kondisinya bahkan harus berjalan sekalipun pasti akan kita jalani.

Namun ketika baca beberapa berita baik di situs Kemenag sendiri, tampaknya Bakhutmah sendiri sekarang sudah tidak dijadikan kawasan pemondokan. Tentunya semoga mendapat kawasan yang lebih dekat lagi dgn Masjidil Haram.

Kawasan Bakhutmah membawa kenangan tersendiri utk saya, karena suasanannya yang sudah Indonesia banged... Bahkan saya bisa menemukan panganan favorit saya, mie bakso, dengan mudahnya. Ketika pagi hari, kita bisa temui penjual nasi kuning, siang hari bisa nemu penjual sayur asem dan tempe bacem... Lengkap kan?
Di tengah2 kawasan Bakhutmah ada sebuah mesjid besar, di mana setiap bada ashar diselenggarakan pelatihan tahsin Quran oleh pengurus masjid sana. Di kelompok tahsin saya sendiri terdiri dari jamaah2 kota dan provinsi lain dipandu oleh seorang tutor, orang Yaman. Jadi bisa terbayang bgm komunikasinya antara guru dan murid ini hehehe.

Enam tahun lalu pula, malam ini setelah solat Isya, datang beberapa bus yang menjemput kloter saya dan saya dari Kawasan Bakhutmah menuju Arafah untuk pelaksanaan Wukuf.

Tidak terasa sudah enam tahun dan betapa hati ini memendam kerinduan yang sangat besar untuk kembali....
Mudahkanlah Ya Rabb, jalan setiap hamba-Mu utk ke Tanah Suci
Serta lancarkan dan ridhoi  ibadah saudara-saudara kami di sana Ya Rabb, jadikan mereka haji yang mabrur
Share: